PalangkaNews.co.id – Penerapan skema PPPK Paruh Waktu secara nasional pada 2025 membawa perubahan besar bagi tata kelola tenaga non-ASN. Kebijakan ini menjadi jawaban atas persoalan klasik: banyaknya tenaga honorer yang sudah bekerja bertahun-tahun, tetapi belum memiliki kepastian status maupun penghasilan tetap. Dengan status baru sebagai ASN, masyarakat mulai mempertanyakan dampaknya terhadap berbagai hak sosial, termasuk apakah PPPK Paruh Waktu masih diperbolehkan menerima bantuan sosial (bansos) dari pemerintah.
Pertanyaan ini muncul bukan tanpa alasan. Sebagian tenaga honorer—sebelum menjadi PPPK—memang masuk kategori rumah tangga miskin atau rentan, sehingga terdaftar sebagai penerima bansos di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTSEN Kemensos). Ketika status mereka berubah menjadi ASN, maka secara logika kesejahteraan ada pergeseran indikator, terutama karena adanya penghasilan tetap yang bersumber dari APBD maupun APBN.
Selain itu, pemerintah pusat saat ini sedang melakukan penyesuaian basis data bansos agar lebih akurat. Dalam beberapa tahun terakhir, Kemensos meningkatkan integrasi data antara DTSEN, Dukcapil, BPJS Ketenagakerjaan, DJP, dan data kepegawaian nasional. Itu sebabnya isu kelayakan bansos bagi ASN—termasuk PPPK Paruh Waktu—menjadi penting untuk diulas secara komprehensif berdasarkan regulasi, prinsip anggaran negara, serta tujuan sosial dari program bantuan.
Skema PPPK Paruh Waktu: Fondasi, Tujuan, dan Status sebagai ASN
Penerapan PPPK Paruh Waktu adalah bagian dari strategi besar pemerintah untuk merapikan jutaan tenaga non-ASN yang tersebar di seluruh Indonesia. Skema ini ditujukan untuk memberikan solusi bagi honorer yang gagal dalam seleksi CPNS atau PPPK penuh waktu, tetapi tetap dibutuhkan pemerintah daerah untuk menjalankan layanan publik. Dengan kata lain, PPPK Paruh Waktu adalah opsi “penyelamatan” agar tidak terjadi PHK massal setelah moratorium tenaga honorer diberlakukan.
Secara hukum, PPPK Paruh Waktu tercatat sebagai ASN, berdampingan dengan PNS dan PPPK penuh waktu. Pada SK MenPAN-RB Nomor 16 Tahun 2025 ditegaskan bahwa:
-
PPPK Paruh Waktu memiliki masa kerja dengan kontrak 1 tahun.
-
Ada evaluasi kinerja per triwulan dan tahunan.
-
Pegawai berhak memperoleh Nomor Induk PPPK (NI PPPK).
Dengan kepemilikan NI PPPK, seseorang resmi masuk dalam sistem administrasi kepegawaian nasional. Status ini berdampak langsung pada berbagai layanan negara, termasuk akses ke asuransi, database pribadi, dan sistem pemerintahan elektronik.
Penghasilan PPPK Paruh Waktu: Tetap, tetapi Proporsional
Pendapatan PPPK Paruh Waktu bersumber dari APBD atau APBN. Besarannya ditentukan oleh kemampuan anggaran daerah—bukan mengikuti golongan ASN. Hal ini berarti setiap daerah bisa memiliki besaran penghasilan yang berbeda-beda, bergantung pada kapasitas fiskal masing-masing pemerintah daerah.
Meski tidak sebesar pegawai penuh waktu, status sebagai ASN memberikan jaminan stabilitas pendapatan. Ini menjadi indikator penting dalam menilai kelayakan mereka terhadap program bansos, karena salah satu syarat utama penerima bantuan adalah kondisi ekonomi rumah tangga yang tidak stabil atau rentan.
Hak Tunjangan: Menunggu Aturan Teknis
Walau pemerintah belum merilis aturan teknis final mengenai tunjangan PPPK Paruh Waktu, prinsip umumnya mengacu pada Perpres 11 Tahun 2024 tentang hak PPPK. Berdasarkan kebijakan itu, pegawai PPPK berhak atas tunjangan pasangan, tunjangan anak, serta tunjangan melekat lainnya—tentu dengan mempertimbangkan kemampuan anggaran daerah.
Dengan demikian, meski besaran penghasilannya bisa berbeda, status ASN memberikan jaminan bahwa PPPK Paruh Waktu tetap berada dalam kategori rumah tangga dengan pendapatan stabil.
Mengapa Isu Bansos Menjadi Penting Bagi PPPK Paruh Waktu?
Sebagian tenaga honorer yang kini berstatus PPPK Paruh Waktu sebelumnya menerima bansos seperti PKH, BPNT, atau bantuan sosial daerah. Banyak dari mereka berada di lapisan ekonomi terbawah sebelum memperoleh status ASN. Ketika pendapatan mulai stabil, pertanyaan pun muncul: masihkah mereka boleh menerima bansos?
Data Kemensos menunjukkan bahwa penyaluran bansos merupakan program berbasis target. Itu berarti bansos harus tepat sasaran kepada kelompok miskin, sangat miskin, atau rentan. Perubahan status seseorang—terutama menjadi ASN—akan berdampak pada penilaian kelayakan. Kemensos juga menegaskan dalam berbagai pernyataannya bahwa bansos bukan hak universal, melainkan “intervensi negara hanya bagi mereka yang membutuhkan”.
Menurut penjelasan umum Kemensos:
“Penerima bansos harus berasal dari keluarga miskin atau rentan. Jika status sosial ekonomi berubah, maka harus ada penyesuaian dalam data penerima.”
Dengan demikian, status ASN, termasuk PPPK Paruh Waktu, secara prinsip tidak masuk prioritas penerima bansos.
Kebijakan Kemensos: Bansos Bukan untuk ASN, Termasuk PPPK Paruh Waktu
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) selalu menegaskan bahwa program bantuan sosial dirancang untuk membantu kelompok masyarakat yang masuk kategori miskin dan rentan. Syarat penerima bansos seperti PKH dan BPNT mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTSEN), yang mengelompokkan rumah tangga berdasarkan parameter penghasilan, kondisi sosial, kondisi perumahan, serta kerentanan anggota keluarga.
Jika salah satu anggota keluarga menjadi ASN—termasuk PPPK Penuh Waktu maupun PPPK Paruh Waktu—maka kriteria ekonomi berubah. Banyak poin dalam penilaian kesejahteraan, seperti pendapatan tetap, jaminan kerja, dan status sosial, membuat rumah tangga tersebut masuk kategori non-prioritas.
Kemensos sendiri melalui rilis resminya menyatakan:
“Program bantuan sosial diberikan kepada rumah tangga miskin dan rentan. Apabila terjadi perubahan status ekonomi, maka data penerima harus diperbarui untuk menjaga ketepatan sasaran.”
Dengan demikian, secara prinsip, status ASN otomatis mengeluarkan seseorang dari prioritas penerima bansos.
DTSEN Kemensos: Sistem yang Menyesuaikan Perubahan Status Penerima
Untuk memahami mengapa PPPK Paruh Waktu dianggap tidak layak menerima bansos, penting memahami bagaimana DTSEN bekerja. Pada 2023–2025, pemerintah memperkuat integrasi data lintas kementerian, termasuk Dukcapil, Kemenkeu, Kemendikbud, BPJS, hingga Badan Kepegawaian Negara (BKN). Tujuannya adalah agar perubahan status sosial-ekonomi seseorang—termasuk menjadi ASN—dapat terdeteksi dan dilakukan updating secara otomatis.
Perubahan status menjadi ASN memengaruhi beberapa indikator utama dalam DTSEN:
1. Pendapatan Stabil dan Terjamin
Rumah tangga dengan penghasilan tetap dari pemerintah—meskipun nominalnya tidak tinggi—umumnya tidak dianggap miskin atau rentan.
2. Akses ke Jaminan Kerja dan Fasilitas ASN
ASN, termasuk PPPK Paruh Waktu, memiliki akses terhadap jaminan kerja, penilaian kinerja, dan potensi tunjangan.
3. Status Sosial dan Kepastian Administratif
Sebagai ASN, seseorang memiliki posisi administratif yang berbeda dari pekerja informal. Ini menjadi salah satu indikator penting dalam penentuan prioritas bantuan.
Di sisi teknis, petugas dinas sosial di daerah melakukan verifikasi melalui survei lapangan apabila ada perubahan signifikan pada rumah tangga penerima. Dalam kasus PPPK Paruh Waktu, perubahan status ASN biasanya langsung tercatat dalam basis data BKN, lalu tersinkronisasi dengan data kesejahteraan melalui integrasi lintas sektor.
Inilah alasan mengapa penerima bansos yang naik status menjadi ASN sering kali “hilang” dari daftar penerima tanpa perlu pengajuan manual.
Program Bansos Manakah yang Melarang ASN Mendaftar?
Beberapa program bansos memiliki aturan spesifik yang secara eksplisit melarang ASN untuk menjadi penerima.
Berikut beberapa contohnya:
1. Program Keluarga Harapan (PKH)
Dalam pedoman pelaksanaan PKH, salah satu syarat penerima adalah rumah tangga miskin berdasarkan DTSEN. Pegawai pemerintah, termasuk ASN, tidak dianggap sebagai target.
2. Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)/Sembako
BPNT menyasar kelompok miskin. Pegawai ASN tidak termasuk kategori prioritas, bahkan sebagian besar daerah menambahkan aturan lokal yang melarang ASN menerima BPNT.
3. Bansos Daerah (Bantuan Sosial APBD)
Hampir semua regulasi bansos APBD di provinsi dan kabupaten menyebutkan bahwa ASN tidak boleh menjadi penerima kecuali dalam kategori tertentu, seperti bantuan bencana atau bantuan kedaruratan non-ekonomi.
4. BLT Kemiskinan Ekstrem
BLT jenis ini diberikan berdasarkan data rumah tangga miskin ekstrem dan tidak boleh diberikan kepada pegawai pemerintah.
Dengan demikian, meskipun PPPK Paruh Waktu memiliki pendapatan yang tidak besar, status ASN tetap menjadi pembeda utama yang membuat mereka tidak lagi masuk kategori penerima bansos.
Contoh Situasi di Lapangan: Kasus yang Banyak Terjadi
Untuk memudahkan pemahaman, berikut contoh kasus nyata yang sering terjadi:
Contoh 1: Honorer Penerima PKH Beralih menjadi PPPK Paruh Waktu
Sebelum diangkat, rumah tangga tersebut masuk kategori miskin karena pendapatan suami-istri tidak tetap. Setelah menjadi PPPK Paruh Waktu, pendapatan tetap masuk APBD membuat kategori ekonomi naik menjadi non-miskin.
Akibatnya, data PKH terhenti pada periode evaluasi berikutnya.
Contoh 2: Penerima BPNT dengan Penghasilan Tidak Tetap
Seorang tenaga operator honorer menerima BPNT. Setelah ditetapkan sebagai PPPK Paruh Waktu, datanya disesuaikan oleh DTSEN karena sudah memiliki pendapatan tetap. Rumah tangga tersebut dihapus dari daftar BPNT dalam pembaruan data triwulan.
Contoh 3: PPPK Paruh Waktu dengan Tanggungan Banyak
Ada juga yang pendapatan PPPK Paruh Waktu masih terasa berat karena tanggungan anak banyak. Namun, karena status ASN tidak masuk kategori miskin, bantuan tidak diberikan kecuali dalam program non-ekonomi seperti bantuan bencana atau kedaruratan kesehatan.
Contoh-contoh ini menggambarkan bahwa status ASN—meski dengan penghasilan yang tidak besar—tetap mengubah profil rumah tangga secara administratif.
Sanksi Jika ASN Termasuk PPPK Paruh Waktu Tetap Menerima Bansos
Kemensos melalui aturan penyaluran bansos memiliki ketentuan sanksi apabila ada penerima bantuan yang tidak memenuhi kriteria tetapi tetap menerima manfaat.
Sanksi tersebut dapat berupa:
1. Penghentian Pencairan Bansos
DTSEN otomatis menghentikan penyaluran ketika mendeteksi perubahan status.
2. Teguran dari Dinas Sosial atau Instansi Kepegawaian
ASN yang terbukti menerima bansos tidak sesuai kriteria dapat dikenakan teguran formal.
3. Kewajiban Mengembalikan Dana Bantuan
Beberapa daerah menerapkan aturan pengembalian dana jika penerima diketahui tidak lagi berhak.
4. Pemeriksaan oleh Inspektorat Daerah
Kasus tertentu yang dianggap berat dapat masuk pemeriksaan internal pemerintah daerah.
Tujuan sanksi ini bukan hukuman semata, tetapi menjaga agar bansos benar-benar tepat sasaran.
Dampak Kebijakan terhadap Mantan Penerima Bansos yang Kini Menjadi PPPK Paruh Waktu
Penerapan aturan bahwa ASN tidak lagi menjadi prioritas penerima bansos membawa dampak sosial yang cukup besar, terutama bagi mantan tenaga honorer yang selama bertahun-tahun berada dalam kategori rentan. Banyak di antara mereka merasakan perubahan drastis ketika “naik status” menjadi ASN PPPK Paruh Waktu: pendapatan tetap memang meningkat, tetapi tidak selalu berbanding lurus dengan kebutuhan ekonomi keluarga, terutama bagi yang memiliki banyak tanggungan.
Namun dari perspektif kebijakan, pemerintah menilai bahwa program bansos perlu diarahkan kepada masyarakat yang belum memiliki kepastian ekonomi. Status ASN sendiri dianggap sebagai indikator ekonomi yang relatif aman, meski nominal penghasilannya bervariasi. Itulah sebabnya penerima bansos yang naik status menjadi pegawai pemerintah segera diarahkan untuk dikeluarkan dari sistem bantuan, agar program sosial lebih tepat sasaran pada keluarga miskin.
Di sisi lain, kebijakan ini juga bertujuan mengurangi tumpang tindih anggaran. Pemerintah telah mengalokasikan dana besar untuk gaji PPPK Paruh Waktu melalui APBN dan APBD. Jika pegawai yang pendapatannya ditanggung negara tetap menerima bansos, akan muncul apa yang disebut sebagai “double benefit”—dua kali menerima manfaat dari anggaran yang sama. Prinsip keadilan sosial menuntut agar bansos diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, bukan kepada kelompok yang telah ditanggung negara melalui gaji ASN.
Tantangan di Lapangan: Ketidaktahuan, Kebingungan, dan Minim Sosialisasi
Meskipun kebijakan sudah jelas, kenyataan di lapangan sering kali menunjukkan dinamika berbeda. Banyak PPPK Paruh Waktu yang belum mengetahui bahwa status mereka sebagai ASN membuat mereka tidak lagi berhak atas bansos. Situasi ini terjadi karena beberapa alasan:
1. Minimnya Sosialisasi Resmi
Tidak semua pemerintah daerah menyampaikan informasi secara menyeluruh kepada pegawai baru mengenai hak dan kewajiban terkait bansos. Banyak yang baru tahu setelah pencairan bansos terhenti.
2. Ketidaksesuaian Data di Lapangan
Data DTSEN tidak selalu cepat mengikuti perubahan status. Ada kasus di mana seseorang masih menerima bansos satu atau dua periode setelah pengangkatan ASN, baru kemudian dihentikan.
3. Kompleksitas Kondisi Ekonomi Rumah Tangga
Ada PPPK Paruh Waktu yang meski berstatus ASN, namun tetap kesulitan ekonomi karena jumlah tanggungan banyak atau biaya hidup tinggi. Kebijakan yang bersifat “general” sering kali tidak mempertimbangkan kondisi tertentu.
4. Keterbatasan Literasi Administrasi
Beberapa daerah—terutama di wilayah terpencil—masih mengalami keterbatasan literasi administrasi data, sehingga proses pembaruan bansos tidak dilakukan secara sistematis.
Ketidaktahuan ini memicu berbagai bentuk kebingungan, khususnya ketika pegawai mengira bahwa penghentian bansos merupakan kesalahan sistem, padahal sudah sesuai regulasi.
Apakah Masih Mungkin PPPK Paruh Waktu Mendapat Bantuan?
Walaupun secara umum PPPK Paruh Waktu tidak berhak menerima bansos reguler seperti PKH atau BPNT, ada beberapa jenis bantuan negara yang masih bisa diakses oleh ASN, termasuk PPPK, dalam situasi tertentu.
1. Bantuan Bencana Alam
Jika pegawai menjadi korban bencana alam (banjir, gempa, kebakaran, dan lainnya), mereka tetap dapat menerima bantuan karena sifatnya bukan berbasis ekonomi, melainkan kedaruratan.
2. Bantuan Khusus Kedaruratan
Contohnya: bantuan kesehatan mendesak, bantuan kematian, atau bantuan rehabilitasi rumah rusak.
3. Evaluasi Khusus untuk Kondisi Kerentanan Ekstrem
Dalam kasus sangat tertentu, jika rumah tangga mengalami kondisi kerentanan ekstrem (misal penyakit kronis dan tak ada anggota keluarga lain produktif), evaluasi manual dapat dilakukan oleh desa/dinsos. Namun keputusan tetap berada pada otoritas Kemensos, dan kasus seperti ini jarang terjadi.
Artinya, bantuan bagi PPPK Paruh Waktu bukan sepenuhnya tertutup, tetapi sangat selektif dan hanya pada kategori bantuan non-ekonomi.
Mengapa Status ASN Menjadi Penentu Utama?
Dalam desain kebijakan sosial modern, negara membedakan dua jenis intervensi:
-
Intervensi ekonomi → ditujukan bagi masyarakat miskin dan rentan.
-
Intervensi kedaruratan → ditujukan bagi siapa pun tanpa melihat status ekonomi.
ASN—termasuk PPPK Paruh Waktu—masuk kelompok yang dianggap telah memiliki kestabilan ekonomi. Mereka tidak termasuk target bansos ekonomi meskipun penghasilan mereka tidak terlalu besar. Hal ini mengikuti prinsip klasik penyaluran bantuan:
“Bantuan harus diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan, bukan kepada mereka yang sudah ditanggung negara.”
Itulah sebabnya setiap perubahan status dari non-ASN ke ASN akan selalu diikuti penyesuaian dalam DTSEN. Mekanisme ini memastikan tidak terjadi kebocoran anggaran dan program tetap fokus pada kelompok miskin.
Kesimpulan:
Berdasarkan regulasi, logika kebijakan, dan mekanisme DTSEN:
1. PPPK Paruh Waktu adalah ASN.
Dengan memiliki NI PPPK, mereka tercatat sebagai pegawai pemerintah.
2. Status ASN membuat mereka tidak lagi menjadi prioritas penerima bansos.
Bansos diberikan untuk rumah tangga miskin dan rentan, bukan pegawai pemerintah.
3. Sistem DTSEN otomatis menyesuaikan status dan mengeluarkan penerima dari daftar bansos.
4. ASN yang tetap menerima bansos dapat dikenai sanksi administratif.
5. PPPK Paruh Waktu hanya bisa menerima bantuan jenis non-ekonomi seperti bantuan bencana atau kedaruratan.
Dengan demikian, jawaban tegasnya: PPPK Paruh Waktu pada dasarnya tidak boleh menerima bansos reguler dari Kemensos, kecuali pada kategori bantuan khusus yang tidak terkait kondisi ekonomi.











